Senin, 26 Januari 2015

PERATURAN WAJIB L/C DIBERLAKUKAN





Pemerintahan sudah berganti, kebijakan pun juga itu diganti. Setelah di era pemerintahan sebelumnya ketentuan wajib menyertakan dokumen letter of credit ( L/C ) dalam kegiatan ekspor dicabut, kini pada pemerintahan era presiden Jokowi akan segera memberlakukan lagi ketentuan wajib L/C bank lokal bagi para eksportir di Indonesia. Apabila tidak ada hal – hal yang mengganggu, bulan ini Kementerian Perdagangan akan merilis payung hukum wajib L/C berupa Peraturan Menteri Perdagangan ( Permendag ). Menurut Sofjan Wanandi selaku Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, akan ada masa transisi dua bulan jadi akan berlaku setidaknya awal bulan April 2015. 

Peraturan ini hanya berlaku bagi ekspor produk pertambangan batubara, mineral, serta ekspor minyak kelapa sawit. Sofjan memastikan peraturan ini tidak berlaku bagi ekspor produk manufaktur. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyatakan, aturan ini masih dibahas oleh instansinya.

Sebetulnya pemerintah era sebelumnya sudah pernah merilis aturan serupa, melalui Permendag No 1/M-DAG/PER/3/2009 tentang Ekspor Barang Yang Wajib Menggunakan L/C Bank Lokal. Aturan yang di tanda tangani Mendag Mari Pangestu itu sudah pas. Bahkan kewajiban menggunakan L/C Bank lokal diberlakukan juga bagi eksportir karet dan kopi. Namun akhirnya setahun kemudian aturan ini dibatalkan karena ditentang habis oleh para pengusaha batubara, mineral, dan kelapa sawit. Pengusaha batubara menilai aturan ini akan memakan banyak waktu dan biaya. “Pembayaran bank di sini memerlukan waktu satu hingga dua bulan, belum lagi jika ada kesalahan administrasi” tutur Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara. Melihat reaksi para pengusaha akan hal ini boleh jadi pemerintah yang sekarang akan menghadapi tantangan serupa.

http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQILNeUi9DbMF5MqlVv9srWFaPJ-LfEy8F_3VjVad7YglfADHDN

ISU KPK Vs POLRI PENGARUHI INDEKS SAHAM





Beberapa hari belakangan ini berbagai media, dari media cetak sampai media elektronik sedang gencar memberitakan “konflik” yang melibatkan dua lembaga negara. Saling adu argumentasi para pengamat politik di media cetak ataupun media elektronik menjadi sarapan bahkan makan malam para pemirsa di Indonesia bahkan luar negeri. Ternyata hal tersebut bisa juga mempengaruhi indeks harga saham gabungan ( IHSG ) Bursa Efek Indonesia. Tercatat menurut TEMPO.CO, indeks harga saham gabungan berakhir di posisi yang cukup tinggi, yakni level 5.323,89. Analis dari Reliance Securities, Lanjar Nafi Taulat Ibrahimsyah, mengatakan, selain dipengaruhi oleh penurunan harga bahan bakar minyak bersubsidi dan prospek pembangunan infrastruktur, kenaikan IHSG terbantu oleh stimulus bank sentral Eropa ( ECB ) senilai 1,1 triliun euro.

Kebijakan tersebut memberi harapan masuknya dana asing ke perdagangan saham dalam negeri. Namun menurutnya hal ini akan sedikit tertahan kembali pekan ini. Pasalnya kita sedang mengalami isu isu  soal gonjang ganjing stabilitas politik di dalam negeri. Dalam jangka pendek ia juga menyarankan investor untuk tidak membeli saham – saham yang sudah naik terlalu tinggi, seperti pada sektor perbankan, konstruksi, dan properti. Sebab, harga saham yang tarlapau mahal cenderung dimanfaatkan para investor untuk melakukan aksi ambil untung ( profit taking ). Investor asing akan memperhatikan pergerakan kurs rupiah sebelum mengakumulasi pembelian saham. 

http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQILNeUi9DbMF5MqlVv9srWFaPJ-LfEy8F_3VjVad7YglfADHDN

2015 HARGA RUMAH SEDERHANA NAIK





Meskipun pemerintah era Jokowi JK saat ini sudah menurunkan harga bahan bakar minyak ( BBM ), ini bukan berarti harga properti otomatis akan ikut turun. Justru sebaliknya, harga rumah akan semakin menanjak. Hal ini disebabkan oleh beberapa komponen biaya yang sudah terlanjur naik ketika harga BBM naik pada November 2014. Contohnya biaya yang terlanjur naik menyusul naiknya BBM saat itu. Ini sangatlah lumrah terjadi di Indonesia, karena masyarakat Indonesia terutama pelaku bisnis akan sangat mudah menaikkan tarif jasa atau barang dagangnya dengan berdalih BBM yang naik, tetapi akan sangat sulit menurunkan kembali padahal BBM sudah turun lagi.

Apalagi, harga BBM yang saat ini ditetapkan masih sangat mungkin berubah menyesuaikan harga minyak dunia yang ada. Kondisi inilah yang membuat para pengembang perumahan tak berani ambil resiko menurunkan harga jual rumah. Bahkan, harga rumah sederhana bisa bertambah mahal 5%-10% di tahun ini. Kenaikan ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Adapun selain harga BBM yang masih bisa berubah kapanpun, faktor lain yang menyebabkan naiknya harga rumah sederhana adalah karena pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar US serta suku bunga yang tinggi. Seperti diketahui pemerintah berencana menghapus  kredit pemilikan rumah ( KPR ) subsidi untuk rumah tapak mulai 31 Maret 2015. Setelah itu masyarakat tidak lagi bisa menikmati fasilitas tersebut.

http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQILNeUi9DbMF5MqlVv9srWFaPJ-LfEy8F_3VjVad7YglfADHDN

Jumat, 23 Januari 2015

PROSPEK KREDIT EKSPOR IMPOR MASIH CERAH




Situasi ekonomi global tahun 2015 diperkirakan masih tertekan. Namun, Bank Negara Indonesia ( BNI ) dan  Bank Mandiri optimistis pertumbuhan kredit ekspor dan impor masih tetap mampu mencetak pertumbuhan lantaran transaksi ekspor impor terus meningkat. Manajemen BNI mencatat, hingga akhir November 2014, laju pertumbuhan transaksi ekspor lebih mendominasi dibandingkan dengan transaksi impor. Transaksi ekspor tumbuh 14,5% dari US$ 12,18 miliar menjadi US$ 13,94 miliar. Sedangkan transaksi impor di BNI mencatat naik 3,7% dari US$ 13,38 miliar menjadi US$ 13,87 miliar.

Menurut para pakar hal ini akan terus terjadi dikarenakan penguatan dollar yang menguntungkan para eksportir. Penguatan dollar AS akan meningkatkan permintaan kredit ekspor karena ini menjadi kesempatan bagi para eksportir untuk berlomba lomba mengekspor produknya dan meningkatkan volume ekspor. Sementara kebalikan dari eksportir, bagi para importir cenderung akan menahan diri untuk impor karena akan membutuhkan lebih banyak rupiah untuk membeli barang yang di impor.

Hal ini juga diperkuat oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang saat ini sedang gencar membangun dan memperbaiki infrastruktur guna meningkatkan perekonomian dan berpengaruh positif terhadap daya saing baraang ekspor asal Indonesia. Pada sisi lain dengan pembangunan infrastruktur tersebut akan banyak barang modal yang masih harus diimpor, sehingga peluang kredit impor pun akan ikut berpeluang memiliki prospek yang cukup cerah.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) per Oktober 2014, jumlah kredit ekspor bank umum mencapai Rp 59,55 triliun. Jumlah ini memperlihatkan pertumbuhan sebesar 10,50% jika dibanding perolehan pada Oktober 2013 yang mencapai angka Rp 53,89 triliun. Di lain sisi, kredit impor bank umum hanya mencapai Rp 53,41 triliun, jumlah ini tercatat turun hingga 23,16% dibanding bulan Oktober 2013 yang senilai Rp 69,51 triliun

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEildXAbVvJPR_lOH9JSBCFe-XVLVKdy2DYc4oDv5fYOmf8RF204T4VEuEu5BiL60z00KDLjZGL4Xl5NrT7LYZz_Y3zrLCRb-iBTEktjZL-PsZ7eaUfVymM5TcRlwi6ixK8jjhA0zIAXDWY/s1600/gundar-logo1.png

BISNIS PROPERTI 2015 DIHADANG MASALAH




Meski industri properti melambat di tahun 2014, harga saham sejumlah emiten properti masih memuaskan sepanjang tahun politik. Harga saham enam emiten properti yang masuk kelompok LQ45 rata – rata naik 55,75% sepanjang 2014, paling memikat ditorehkan PT. Summarecon Agung Tbk ( SMRA ).

Sejumlah analis pasar modal memprediksikan, emiten properti akan melewati sejumlah rintangan sepanjang tahun ini. Tantangan tersebut antara lain berasal dari potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia ( BI rate ) serta pelemahan nilai tukar rupiah. Kenaikan BI rate akan memberikan tekanan ke  bisnis properti. Hal ini lantaran pengembang properti masih bergantung pada kredit perbankan untuk membiayai modal dan operasional. Sementara, rencana kenaikan suku bunga The Fed membawa sentimen negatif. Selain itu, pelemahan rupiah semakin memperbesar biaya emiten bisnis properti, mengingat masih banyak bahan properti bergantung pada impor.

Tekanan atas nilai rupiah diprediksi masih besar mengingat isu kenaikan bunga The Fed terus bergulir. Di sisi lain, daya beli masyarakat menyusut seiring perlambatan ekonomi. Belum lagi aturan loan to value ( LTV ) yang mengharuskan uang muka kredit rumah atau down payment sebesar 30% serta aturan inden. Namun begitu kepala Riset First Asia Capital, David Nathanael Sutyanto menilai, prospek emiten properti masih bagus, meskipun harus menghadapi ancaman kenaikan suku bunga. Beliau berpendapat, tekanan suku bunga masih bisa diatasi, lantaran kebutuhan masyarakat Indonesia akan properti, terutama rumah pertama, masih besar.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEildXAbVvJPR_lOH9JSBCFe-XVLVKdy2DYc4oDv5fYOmf8RF204T4VEuEu5BiL60z00KDLjZGL4Xl5NrT7LYZz_Y3zrLCRb-iBTEktjZL-PsZ7eaUfVymM5TcRlwi6ixK8jjhA0zIAXDWY/s1600/gundar-logo1.png